Belajar Business Strategy dari Professor Scott Galloway

Gue akan bahas learning gue dari sebuah online course termahal yang pernah gue ikutin pada saat itu. Spoiler alert: worth it, bahkan sampe luber-luber kelebihan gitu haha.

Jadi course ini instrukturnya adalah Prof Scott Galloway, yang menurut wikipedia: Scott Galloway is a professor of marketing at the New York University Stern School of Business, and a public speaker, author, and entrepreneur. Consulting firm dia yang namanya L2 udah di acquire Gartner seharga $134 million, jadi bukan prof kaleng-kaleng ya doi~ Doi juga lumayan aktif di twitter dan podcasting (Pivot & Prof G Show). Karena dia punya duit sekarang, jadi suka kenceng banget bacotin big tech dan foundernya. Doi benci banget Mark Zuckerberg wk.

Yang bikin coursenya adalah perusahaan baru dia di bidang edukasi, namanya section4. Section 4 ini kayaknya aimnya pengen jadi platform untuk para professor/edukator biar bisa nge-reach audience langsung tanpa perantara university.

Jadi konsep coursenya adalah sprint selama 2 minggu, dimana ada materi pembelajaran yang udah disiapin, group discussion, live classroom, dan akhirnya ada final assignment yang harus lo submit. Karena ini coursenya cohort dan karena dikumpulin di slack, lo bisa aja reach out dan connect dengan temen satu batch lo. Di batch gue ada 500an orang, worldwide. Itung aja cuannya berape tuh ni si prof botak.

Materinya, untuk gue yang ga pernah belajar business strategy di S1 dan S2, totally baru dan totally “daging”. Examplesnya sungguh relevan, sangat recent, juga data backed banget.

Gue belajar banyak banget, cuma sayangnya ga networking… nyeselnya pas udah kelar. Selain gue anaknya kurang suka networking, mungkin ada rasa minder karena dari indonesia sendiri dan ada impostor syndrome sedikit yang sebenernya ga penting sama sekali wk. Anyway, here’s the content!

The T-Algorithm

Inti dari course ini adalah T-Algorithm.

Intinya, si Professor Scott Galloway (Prof G) meneliti apa yang bikin trillion dollar company (dalam hal ini Facebook, Apple, Amazon, Google, walaupun Facebook belum 1 trillion dollar valuationnya) itu bisa menjadi… trillion dollar company. Setelah riset, ternyata ada sets of strategies yang mereka semua pake, yang akhirnya dia namain T-Algorithm. T-nya comes dari Trillion.

Total ada 8 strategy di T-Algorithm, yaitu:
1. Appealing to Human Instinct
2. Accelerant
3. Growth x Margin
4. Rundles
5. Vertical Integrations
6. Benjamin Button
7. Visionary Storytelling
8. Likeability

Setiap strategy akan ada post masing-masing, ngebahas deskripsi, contoh, dan aplikasinya. Tapi sabar yak, ada beberapa yang belum kelar digambar wk.

Appeal To Human Instinct

Salah satu strategy yang dipake oleh trilion dollar companies adalah dengan cara appealing ke core human instinct, biasanya yang terkait dengan survivability manusia.

Menurut @profgalloway ada 4 human instinct yang biasanya disasar:
1. Brain
2. Heart
3. Gut
4. Genitalia

Brain: Instinct manusia yang disasar disini adalah sesuatu yang berhubungan dengan berpikir, atau sesuatu yang memberikan sinyal bahwa kita pintar 

Brand yang menyasar brain contohnya adalah Google. Google sekarang ya sumber pengetahuan kita kan? Buat gue sih iya heu. Contoh lainnya adalah McKinsey, brand mereka exudes kepinteran gitu kan, jadi dengan kita jadi clientnya, kita signaling ke orang lain bahwa kita pinter juga getooh.

Heart: Instinct yang disasar adalah yang berhubungan dengan hati, relationship.

Penguasa hati kita sekarang siapa sih? Ya Facebook dan kumpeninya. Facebook yang konekin kita dengan temen-temen sd, instagram tempat kita mengharapkan perhatian, sampai whatsapp yang tempat kita berkomunikasi.

Gut: Instinct kita untuk consume.

Amazon adalah contoh pertama, doi memfulfill instinct kita untuk consume segala macem (Physical goods, digital goods, films, etc) dengan harga yang relatif ekonomis, less for more. Brand lainnya yang gue kepikiran di Indonesia ya super app decacorn seperti Grab dan GoFood. Mereka fulfill kebutuhan kita untuk consume segala macem dengan segala kemudahannya.

Genitals: Instinct yang dibidik adalah kemampuan kita untuk attract lawan jenis, instinct yang jadi dasar dari evolusi manusia wk. Contoh brandnya: Apple. Kalo bolongan kamera di handphone lo 3, lo signaling kepada yang lain bahwa lo adalah orang yang punya uang, kreatif, pinter, melambangkan kemapanan dan security, yang menandakan bahwa lo adalah better mate dibandingkan laki-laki/perempuan yang lain.

Gimana caranya bisa di pake ke bisnismu?

Biasanya trillion dollar company kebagi dua, ada yang baikin perceived value dengan cara branding, ada yang pushing down cost dengan cara optimize operation. Define dulu bisnis kamu itu yang mana.

Kalo ternyata bisnis kamu lebih yang increase perceived value dengan brand, nah instinct yang cocok kamu sasar itu adalah heart dan genitals. Kebanyakan yang nyasar instinct ini adalah barang-barang yang irrational, maka gimana caranya bisnis kamu bisa ngebuat mereka irrational, biasanya ya dengan branding dan advertising.

Kalo bisnis kamu lebih yang pushing down cost, yang more for less, maka instinct yang cocok adalah brain dan gut. Karena merereka all about mana yang logis dan more for less, try aiming untuk bisa gitu di bisnis kamu.

Career Accelerant

Kata pepatah (ashek~), great idea is something, great execution is everything. Bisnis akan bagus kalau orang-orang yang ngejalanin bisnisnya bagus.

Sekarang gimana caranya biar orang-orang bagus dateng dan stay di bisnis kita?

Gue sampe capek (baca: sirik) ngeliat orang-orang di Linkedin yang ada tulisan-tulisan ex: g*o-jek, ex tr*aveloka dkk . Tapi kenapa sih mereka gitu? Karena lulusan company-company tersebut biasanya oke-oke. Karirnya melesat setelah dia join company tersebut. Kenapa begitu? Karena kebanyakan startup-startup itu ngasih responsibility orang umur 33 ke anak umur 23. Mungkin itu lebay yes, tapi poinnya, mereka dichallenge dengan responsibility yang besar. Challengenya gede, ditambah culture kerja yang mendukung hasilnya apa? betul teman-teman, hasilnya growth. Brand-brand yang saya tulis diatas udah berhasil memiliki persepsi bahwa mereka adalah Career Accelerant.

Cara biar company kamu bisa dianggap jadi career accelerant orang adalah menciptakan meritokrasi di company kamu. Menurut KBBI, meritokrasi adalah sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dll.

Susah ga? Susah. Kamu berarti harus promote/reward orang-orang yang bagus, dan orang-orang yang udah senior dan ga bisa keep-up dilepas. Contohnya adalah McKinsey. Perusahaan yang sering ditulis juga di nama Linkedin ini ada budaya “Up or Out”, intinya kalo lo kira-kira ga bisa naik ampe jadi partner, lo akan di minta untuk keluar. Nggak jelek-jelek bgt juga sih, kalo up lo jadi partner, kalo out, at-least lo dapet brand McKinsey yang akan bantu naikin value lo di job market. Sungguh menarik bukan untuk karyawan?

Nggak semua company bisa se-kompetitif Management Consultant kayak McKinsey, company biasa kayak company gue mungkin bisa apply training program yang kompetitif, challenge anak-anak baru dengan task yang beneran challenging, dan bikin semacam knock down versionnya alumni page mckinsey? (https://www.mckinsey.com/alumni)

Growth x Margins

Biasanya perusahaan itu kebagi dua, ada yang high growth dan high margin. Perusahaan yang high growth itu ciri-cirinya biasanya perceived valuenya tinggi, tapi harga dia ga setinggi perceived valuenya, contoh yang dikasih Prof Galloway tuh Dell & Walmart. Gue pengen nambahin yang ada di sekitar kita, Xiaomi. Perceived value mereka gede karena R&D, marketing dan branding mereka bagus, tapi mereka ga ngecharge mahal. Nah perbedaan antara price dan perceived value itu yang bikin orang banyak beli barang-barang mereka, yang hasilnya ngedrive growth. Cuma, karena mereka jual dengan harga yang ga jauh2 diatas costnya, ya marginnya kecil.

Nah perusahaan yang high margin itu adalah mereka-mereka yang perceived valuenya tinggi, tapi mereka ngecharge harga juga tinggi. Contoh: Pfizer/perusahaan-perusahaan pharma lainnya, Hermes dan luxury companies lainnya. Perusahaan pharma perceived valuenya tinggi karena produk mereka menyelamatkan hidup dan menghilangkan rasa sakit. Tapi tau nggak sih modal mereka untuk obat-obat yang mahal (bukan yang generik) ternyata jauh banget lebih murah dibandingin harga mahalnya doi? Hermes juga gitu, perceived valuenya tinggi banget memang dengan segala aktifitas branding, PR, advertising, dan scarcity strategy yang mereka gunain, yang mengakibatkan tas paling mahalnya doi (setau gue) Hermes Birkin itu bisa kejual dengan harga $300.000 Anjing ga? Wk.
Walau begitu, ternyata cost untuk mereka actually bikin entry level birkin bag (udah termasuk dengan biaya handmade dan kulit buayanya) cuma $800 :’)

Nah biasanya dulu tuh perusahaan harus milih salah satu, lo mau jadi perusahaan yang high growth atau yang high margin? Tapi tapi tapi, sekarang stigma itu dirusak oleh tentu saja siapa lagi selain Microsoft, Google, Amazon, Apple dan Facebook. :))

Tech companies ini bisa nyeimbangin antara growth dan margin, yang ngebuat mereka ga cuma jadi unicorn atau decacorn, tapi jadi trillion dollars companies.

Nah gimana untuk apply ke perusahaan kamu? Kalo lo tech companies, playbook yang dipake sama Netflix dan Amazon adalah mereka main growth story dulu, baru transisition ke margin story akhir-akhir ini. Caranya menurut Prof Galloway: 1. Increase price 2. Identify economies of scale 3. Articulate transition to margins to stakeholders.

Kalo perusahaan lo bukan tech company gimana? Gue ga seahli itu untuk ngasih saran sih. Cuma gue anaknya lebih nyaman dengan margin story sih. Selama objective lo dengan perusahaan itu tercapai, yaudah. Unless ada plan untuk dijual, ya mungkin lo harus sacrifice margin untuk growth. Gatau juga sih, kalau ada yang punya saran, monggo ditulis disini. Kalo ada yang punya kritik atau sanggahan juga monggo.

Rundles

Rundles adalah singkatan dari Recurring Revenue Bundles. Kenapa menarik? Karena perusahaan yang punya recurring revenue dinilai lebih tinggi oleh market dibandingin yang enggak. (Cara valuation companynya, revenue yang di multiply instead of EBITDA)

Strategi yang dipake sama perusahaan-perusahaan top dunia macem Amazon dan Microsoft ini tuh intinya recurring revenue alias pendapatan yang berulang. Pendapatan yang berulang tuh kumaha bang? Contoh gampangnya kalo lo jadi member gym deh. Biasanya mereka maunya lo daftar sekaligus setahun kan? Nah itungannya mereka dapet recurring revenue tuh, at least selama setahun.

Nah bundles nya apaan dong bang? Biasanya, untuk ngedapetin monogami / komitmen yang panjang dari konsumen kan susah (contoh: duh kalo gue commit ngegym disini setaun, berarti nanti gue ngga bisa cobain tempat gym yang gosipnya pevita sering latian dong?) makanya penawarannya di bundling dengan servis atau barang lain.

Contohnya kayak gambar diatas, dengan bayar membership amazon prime $119/tahun, lo bisa dapetin free delivery, amazon music, amazon video streaming services, bisa minjem buku di kindle gratis, dll. Menarik kan?

Ini salah satu strategi yang lumayan membekas di gue. Kenapa? Karena gue belajar ini di Bulan April, dimana si Prof ngoceh-ngoceh mulu tentang kecenya strategi ini, dan bilang Apple / Google akan pake strategi ini. Eeeh bulan september Apple announce Rundles mereka yang dinamain Apple One, trus awal october ini Google ngeluncurin Google Workspace. Anjirrrrr sungguh tepat lo tak. Silakan swipe visual untuk gambarnya.

Kenapa recurring revenue itu powerful? Menurut Prof Botak, karena persepsi manusia akan waktu itu skewed. Contoh: member gym sebulan 1 juta, “wah murah dong soalnya gw seminggu 3x ke gymnya, jadi jatohnya sekali dateng cuma 83 ribu!” lalu proceed untuk cuma dateng 5x dalam sebulan. Intinya subscription itu mostly profitable buat perusahaan.

Gimana cara apply ke bisnis lo?

IMHO kalo bisnis lo service company, biasanya lebih gampang. Contohnya bisnis digital agency, kita jualan macem-macem service yang dibundle jadi satu secara retainer 1 tahun. Menurut gw service company lebih mudah dibikin Rundles dibandingin produk.

Untuk company yang jualan product ada yang susah, ada yang emang udah gampang banget dijadiin Rundles by nature. Contohnya brand men grooming product @shavewithbanner by nature emang cowok-cowok bakal resupply secara periodik product-product untuk grooming. Untuk produk-produk yang agak susah dan ga tentu kapan mereka replenishnya seperti tas, baju, atau kosmetik…. gue juga ngga tau sih wk. Tapi secara teori, kalo brand lo cukup oke, bisa jualan membership yang isinya dicombine physical goods + content + education sih. Contohnya: jualan yearly membership yang keuntungan buat membernya: monthly beauty talks with MUA / Beauty Influencer yang lagi hot, physical cosmeticsnya, ditambah online course untuk dandan yang akan nambah terus setiap bulannya? Gatau ngasal gw wk, tapi teorinya gitu lah kira-kira.

Vertical Integrations

Kalo lo ditanya hal apa yang ngebuat Apple jadi perusahaan paling valuable di dunia dan ngejawab iPhone, lo ga sendiri. Gue juga jawab itu. Tapi Prof Galloway berargumen lain, dia merasa move yang ngeunlock shareholder value paling gede adalah Apple Store.

Steve Jobs di 2001 betting billion dollars investment di leases dan interior design untuk ngebuat Apple Store yang kita tau sekarang. Sebelum Apple Store, orang-orang beli laptop dan gadgets dimana sih? Kalo gue sih di Ratu Plaza yak wk, di toko yang brandingnya kurang jelas, dengan orang-orang yang gue juga ga tau doi capable apa ngga, belum lagi lama service yang kurjel bakal selesai kapan. Apple ngambil cara main luxury brand dalam ngedesign Apple Store dan experience didalemnya, dan the rest is history. Arguably, iPhone ga terlalu beda dengan android phones lainnya, tapi siapa sih yang punya pesaing Apple Store?

Secara definisi, Vertical Integrations artinya adalah kemampuan perusahaan untuk mengontrol customer experience dari awal sampai akhir dengan cara memiliki sebanyak mungkin value chain as possible.

Contoh lainnya adalah Amazon. Doi jelas punya platform yang trafficnya gila-gilaan di amazon.com sebagai Distributions channel. Cuma kalo lo sekarang browsing, beberapa tahun terakhir mereka mulai going vertical dengan cara mendesign dan manufaktur brand mereka sendiri instead of jualan barand third party. Coba cek deh copynya Allbirds, hampir persis sih menurut gue, dijual Amazon dengan harga $35 instead of the origilan $95.

Menurut gue sih ada bias ke owning distributions, karena ya kalo lo punya relnya, lo bisa nentuin siapa yang lewat rel itu, berapa besar biayanya, bahkan lo bisa ngelarang barang-barang apa yang lewat disitu. Ambil contoh lagi-lagi Apple App Store. Sekarang lagi rame perseteruan antara developernya Fortnite dan Apple tentang paycut App Store yang ujung-ujungnya Fortnitenya diapus dari App Store 

Kalo untuk kita-kita ini yang ga punya uang sebanyak mereka gimana? Saran gue sih distribution kita seenggaknya punya sendiri lah. Jangan terlalu tergantung sama platform-platform marketplace walaupun ya mereka menang di distribution dan eyeball ya. Cuma long termnya gimana?

At least dengan kita punya website untuk distribution sendiri, kita bisa own data dan audience kita, kita juga bisa design customer experience yang sesuai dengan brand kita. Bayangin kalo tokopedia bikin brand sendiri dengan data yang digenerate oleh jutaan seller tersebut hehehehehehe. Misalnya lho~ mudah-mudahan sih nggak :))

Benjamin Button

Biasanya, produk itu ada lifecyclenya sama kayak manusia. Dari introduction, growth, maturity, dan akhirnya decline/dead. Tapi untuk beberapa perusahaan yang paling valuable di dunia, hukum tersebut ngga berlaku, malah kebalikannya. Makin lama makin kece, makin dipake makin mahal, makin tua makin mahal. Seperti film Benjamin Button, hence the name of the strategy.

Salah satu penyebabnya adalah network effect. Fenomena ini adalah dimana makin banyak pengguna, makin besar value dari sebuah barang atau jasa tersebut. Contoh paling dekat adalah Facebook, Instagram, dan Youtube. Kalo yang join instagram cuma temen satu kompleks kita doang, pasti valuenya ga sebesar 100 billion dollar di 2018 dengan
lebih dari 500 juta orang daily active user.

Kalo bisnis kita nggak secara natural bisa menerapkan network effect, ada beberapa cara untuk kita nambahin benjamin-buttonesque fitur ke offering kita, dimana makin banyak yang menggunakan fitur tersebut, makin valuable offering kita.

Contoh 1: Review, makin banyak yang ngereview, makin trustworthy offering kita (kalo reviewnya bagus)

Contoh 2: Community, makin banyak member dan value creation didalam community tersebut, makin valuable community tersebut.

Visionary Storytelling

Jeff Bezos, Elon Musk dan Bill Gates. Itu urutan orang terkaya di dunia saat caption ini ditulis. Bang Elon baru aja nyusul Om Bill setelah value Tesla di bursa saham naik (lagi!!). Hubungannya apa dengan salah satu strategi dari T Algorithmnya Prof Galloway? Visionary Storytelling adalah salah satu karakteristik/strategi yang dipake sama company-company yang sukses mencapai value sangat besar.

Prof Galloway argues, company dengan kemampuan mengartikulasikan vision yang menarik ke shareholder dan stakeholder dan juga punya kemampuan untuk mengeksekusi step-by-step ke arah visi tersebut punya dua benefit menarik. Pertama dari sisi human capital. A compelling vision bakal menarik untuk human capital berkualitas dan memperjelas arah kemana mereka harus bergerak. Kedua, cheap capital. Company dengan vision yang bold dan menarik, attracts cheap capital.

Jangan lupa, vision statementnya harus bold dan compelling, tapi jangan sampe bullshit kayak WeWork ya. Gue juga baru tau kalo vision/mission statementnya WeWork tuh “Elevate the world consciousness” BGST WK DOI BISNISNYA NYEWAIN OFFICE SPACE PDHL.

Contoh vision statement yang bold dan masih masuk akal?
Amazon: Convenience, Value, Selection
Facebook: Connecting the world
Google: Organize the world’s information
Walmart: Best multi channel retailer – ini untuk yang ga terlalu muluk, tapi eksekusinya bener.

Cara pake di bisnis kita kumaha kang? Jujur belum nemu yang konkritnya gimana hehe. Cuma ya paling pelajaran yang personally gue ambil: 1. Kalau mau value gede, visi lo juga harus gede 2. Jangan terlalu roman picisan bullshit yang ga nyambung di vision statement 3. Eksekusi visi yang lo tentuin sendiri, at least keliatan progress menuju kesana.

Likeability

Gue percaya banget, personal branding itu adalah sebuah cheat di jaman sekarang. Dengan ambisi yang tepat, intensi yang baik, dan eksekusi yang matang, personal branding bisa jadi leverage yang baik dan sangat powerful untuk siapapun. Lo bisa pakai personal brand lo untuk ngeleverage personal life, career, dan juga bisnis. Walaupun ada risikonya juga siih, Tim Ferris pernah nulis in-depth tentang ini, google aja 11 reasons not to become famous, mindblowing.

Leaders di startup companies dan company-company gede pada umumnya udah kayak celebrity sekarang. Seorang Nadiem Makarim bisa segitu impactfulnya ke perusahaan yang dia pimpin, bahkan sekarang sampai ke sebuah negara. Maka dari itu, likeablity dari leaders winning and successful company adalah sebuah strategy yang harus diterapkan.

Contoh likeable leaders:

Tim Cook dari Apple. First openly gay CEO of Fortune 500 company. Sungguh sebuah keputusan yang berani pada saat itu, dan well rewarded akan keberaniannya. Well liked person all around, ditambah Apple yang juga sangat into privacy, resulting in a very likeable leader.

Sheryl Sandberg dari Facebook. Sheryl ini contoh nyata wanita sukses di tech, pernah jadi executives di Apple, Google, Yahoo, dan ultimately jadi COO Facebook dan serves di BODnya. Kesuksesan karirnya ditambah buku Lean In nya, cewek mana yang ga pengen jadi kayak doi?

Jadi efek dari likeable leaders itu apa aja? Menurut prof galloway adalah
1. Insulate their firms from government and media scrutiny – Sheryl Sandberg katanya jadi tamengnya Zuckerberg dari Government dengan likeabilitynya doi.
2. Helped them strike favorable partnerships – yha iya siapa yang ga pengen partneran dengan leaders yang likeable, brand associationnya akan nempel ke partner to-be nya.
3. Attract top talent – ya iyalah

What you can do when you’re a leader at your business/company? Ya be a likeable person lah kalo bisa wk. Tapi jangan fake, netizen Indonesia bahaya dan pinter-pinter bos. Backlashnya kalo udah sok baik tapi ketauan bokis akan lebih bahaya daripada jadi diri sendiri. Jadi key takeawaynya gimana? Be yourself~ azek taeah wk.

Sekian yang bisa gue ceritain tentang coursenya, semoga berguna dan ada yang bisa diambil untuk diterapin di kerjaan/bisnis pribadi. Good luck!